Kita tahu
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan
maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan
status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak
dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik
sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit
oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Semuanya itu
dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara
kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan
masalah bahasa.
Janganlah
sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa
Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan.
Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk
meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial
masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang
didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh,
sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928 yang konsep aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang
paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir
ketiga itulah yang dianggap sesuatu yang luar biasa. Sebab di negara lain,
khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu
mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda
kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah
mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi
kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum
tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca
di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad
sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali
tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah
menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat
perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa
daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca
ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai
dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang.Kesadaran masyarakat yang semacam
itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di
atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu
pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928?
Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi,
kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah
Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa
Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahasa Melayu
sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu
yang berjiwa semangat baru diganti dengan namabahasa Indonesia.
Fungsi
Bahasa Indonesia
Fungsi bahasa Indonesia
dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan secara
khusus.
a. Fungsi bahasa secara umum.
Fungsi
bahasa secara umum dijelaskan di bawah ini yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai alat
untuk mengungkapkan perasaan atau mengekspresikan diri.
Mampu mengungkapkan
gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan. Melalui bahasa kita dapat menyatakan
secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam hati dan pikiran
kita. Ada 2 unsur yang mendorong kita untuk mengekspresikan diri,
yaitu:
a) Agar
menarik perhatian orang lain terhadap diri kita.
b)
Keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
2.
Sebagai alat komunikasi.
Bahasa merupakan saluran maksud seseorang, yang melahirkan perasaan dan
memungkinkan masyarakat untuk bekerja sama. Komunikasi merupakan akibat yang
lebih jauh dari ekspresi diri. Pada saat menggunakan bahasa sebagai
komunikasi, berarti memiliki tujuan agar para pembaca atau pendengar menjadi
sasaran utama perhatian seseorang. Bahasa yang dikatakan komunikatif karena bersifat
umum. Selaku makhluk sosial yang memerlukan orang lain sebagai mitra
berkomunikasi, manusia memakai dua cara berkomunikasi, yaitu verbal dan non
verbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan menggunakan alat/media bahasa
(lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi secara non verbal dilakukan
menggunakan media berupa aneka symbol, isyarat, kode, dan bunyi seperti tanda
lalu lintas/ sirene setelah itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia.
3.
Sebagai alat berintegrasi dan
beradaptasi sosial.
Pada saat beradaptasi dilingkungan sosial, seseorang akan memilih bahasa
yang digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Seseorang akan
menggunakan bahasa yang non standar pada saat berbicara dengan teman-teman dan
menggunakan bahasa standar pada saat berbicara dengan orang tua atau yang
dihormati. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa memudahkan seseorang untuk
berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa.
4.
Sebagai alat kontrol sosial.
Yang mempengaruhi sikap, tingkah laku, serta tutur kata seseorang.
Kontrolsosial dapat diterapkan pada diri sendiri dan masyarakat, contohnya
buku-buku pelajaran, ceramah agama, orasi ilmiah, mengikuti diskusi serta iklan
layanan masyarakat. Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai
alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam
rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk
meredakan rasa marah kita.
b. Fungsi bahasa secara khusus:
Fungsi bahasa secara umum
dijelaskan di bawah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Mengadakan hubungan dalam pergaulan
sehari- hari.
Manusia adalah makhluk sosial yang tak terlepas dari hubungan komunikasi
dengan makhluk sosialnya. Komunikasi yang berlangsung dapat menggunakan bahasa
formal dan non formal.
2.
Mewujudkan seni (sastra).
Bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan melalui media
seni, seperti syair, puisi, prosa dll. Terkadang bahasa yang digunakan yang
memiliki makna denotasi atau makna yang tersirat. Dalam hal ini, diperlukan
pemahaman yang mendalam agar bisa mengetahui makna yang ingin disampaikan.
3.
Mempelajari bahasa-bahasa kuno.
Dengan mempelajari bahasa kuno, akan dapat mengetahui peristiwa atau
kejadian dimasa lampau. Untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin atau dapat
terjadi kembali dimasa yang akan datang, atau hanya sekedar memenuhi rasa
keingintahuan tentang latar belakang dari suatu hal. Misalnya untuk mengetahui
asal dari suatu budaya yang dapat ditelusuri melalui naskah kuno atau penemuan
prasasti-prasasti.
4.
Mengeksploitasi IPTEK.
Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, serta akal dan
pikiran yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia akan selalu
mengembangkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia akan selalu didokumentasikan supaya
manusia lainnya juga dapat mempergunakannya dan melestarikannya demi kebaikan
manusia itu sendiri.
Kedudukan
Bahasa Indonesia
Kedudukannya berada diatas
bahasa-bahasa daerah. “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain
menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:
a.
Lambang
kebanggaan nasional.
Sebagai
lambang kebanggaan nasional bahasa Indonesia memancarkan nilai- nilai sosial
budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan
bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan mempertahankannya.
Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya
tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga
memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
b.
Lambang
identitas nasional.
Sebagai
lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang
bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia dapat mengetahui
identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai
bangsa Indonesia. Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian
kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak
menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
c.
Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial
budaya dan bahasanya.
Dengan
fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu
dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia,
bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa
bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena
dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia,
identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam
bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan
tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya
khazanah bahasa Indonesia.
d. Alat penghubung antarbudaya antar daerah.
Manfaat
bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk segala
aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang
berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia
meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila
pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
2.2 Eksistensi
Bahasa Indonesia
Eksistensi Bahasa Indonesia Pada era globalisasi sekarang ini, jati diri
bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara
Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh
pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan bahasa dan budaya bangsa
Indonesia. Pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan
mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia.
Ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional,pemakai bahasa
Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap
semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi
dan kondisinya.
Disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk
mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri.
Peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana keilmuan perlu terus
dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seirama
dengan ini, peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah perlu terus
dilakukan.
2.3 Tantangan
Bahasa Indonesia di Era Globalisasi
Era globalisasi yang ditandai dengan arus komunikasi yang begitu dahsyat
menuntut oara pengambil kebijakan di bidang bahasa bekerja lebih keras untuk
lebih menyempurnakan dan meningkatkan semua sektor yang berhubungan dengan
masalah pembinaan bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Featherston (dalam Lee,
1996), globalisasi menembus batas-batas budaya melalui jangkauan luas
perjalanan udara, semaki luasnya komunikasi, dan meningkatnya turis (wisatawan)
ke berbagai negara.
Melihat perkembangan bahasa
Indonesia di dalam negeri yang cukup pesat, perkembangan di luar negeripun
sangat menggembirakan. Data terakhir menunjukkan setidaknya 52 negara asing
telah membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Bahkan,
perkembangan ini akan semakin meingkat setelah terbentuk Badan Asosiasi
Kelompok Bahasa Indonesia Penutur Asing di Bandung tahun 1999. Walaupun
perkembangan bahasa Indonesia semakin pesat di satu sisi, di sisi lain peluang
dan tantangan terhadap bahasa Indonesia semakin besar pula. Berbagai peluang
bahasa Indonesia dalam era globalisasi ini antara lain adanya dukungan luas
dari berbagai pihak, termasuk peran media massa. Sementara itu, tantangannya
dapat dikategorikan atas dua, yaitu tantangan internal dan tantang eksternal. Tantangan internal berupa pengaruh
negatif bahasa daerah berupa kosakata, pembentukan kata, dan struktur kalimat. Tantangan eksternal datang dari
pengaruh negatif bahasa asing (teruatama bahasa Inggria) berupa masuknya
kosakata tanpa proses pembenukan istilah dan penggunaan struktur kalimat bahasa
Inggris.
Mencermati berbagai peluang
dan tantang tersebut, memunculkan serangkaian pertanyaan berikut.
1.
Mampukah bahasa Indonesia
mempertahankan jati dirinya di tengah arus tarik-menarik dari dua tantangan
tersebut?
2.
Apakah peluang-peluang yang
mendukung pembinaan bahasa Indonesia dalam mempertahankan jati diri bahasa
Indonesia?
3.
Apa saja
tantangan-tantangan masa depan terhadap perkembangan bahasa Indonesia dalam
arus tarik-menarik tersebut?
4.
Bagaimana upaya
penanggulangan terhadap tantangan-tantangan tersebut?
Berbagai
fenomena dan kenyataan itu akan semakin mendukung ke arah terjadinya suatu
pertentangan (paradoks) dan arus tarik-menarik antara globalisasi dan
lokalisasi. Persoalan berikutnya adalah mampukah bahasa Indonesia
mempertahankan jati dirinya di tengah-tengah arus tarik-menarik itu? Untuk menjawab
persoalan ini, marilah kita menengok ke belakang bagaimana bahasa Indonesia
yang ketika itu masih disebut bahasa Melayu mampu bertahan dari berbagai
pengaruh bahasa lain baik bahasa asing maupun bahasa daerah lainnya di
nusantara. Sejauh ini tanpa terasa banyak kosakata yang sebenarnya hasil
serapan dari bahasa lain tetapi sudah kita anggap sebagai kosakata bahasa
Melayu/Indonesia.